Langit Jakarta, tahun 2047, berwarna senja abadi. Bukan romantis, tapi rusak. Aplikasi kencan "SoulMateAI" berkedip-kedip di layar ponsel Ara, menampilkan profil yang sama untuk keseratus kalinya: "Mencari koneksi... di tengah distopia." Klise. Ara menggeser ke kiri dengan jemari letih. Ia merindukan matahari, warna biru, dan seseorang yang nyata.
Di layar retak ponsel bututnya, sebuah notifikasi muncul: "Sinyal stabil: 3%". Ara mendengus. Kisah cintanya selama ini lebih sering terputus daripada terhubung. Lalu, sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.
"Apakah kau melihat bayanganku?"
Jakarta, 1997. Angga duduk di depan komputer Pentium II, mengetik di forum online dengan nama samaran "SenjaAbadi". Listrik padam lagi. Ia menghela napas. Cinta memang sulit ditemukan di era modem dial-up dan sinetron pukul tujuh. Lalu, sebuah pesan pribadi muncul. Dari nama samaran "BintangPudar".
"Apakah kau mendengar gema hatiku?"
Angga tertegun. Kata-kata itu... TERASA seperti bisikan.
Ara dan Angga mulai bertukar pesan. Ara menceritakan tentang langit berkarat, tentang makanan sintetis, tentang algoritma yang mengatur setiap aspek kehidupan. Angga bercerita tentang demonstrasi mahasiswa, tentang lagu-lagu grunge, tentang mimpi. Mereka berdua, terpisah jarak dan waktu, menemukan oasis di tengah gurun kesendirian.
Ara merasakan kehadiran Angga di setiap sudut kamarnya yang sempit. Angga membayangkan Ara di setiap sudut gang sempit Jakarta. Mereka jatuh cinta pada sebuah bayangan, pada sebuah gema.
Lalu, sebuah keanehan mulai terjadi. Ara menemukan foto-foto Angga di arsip digital pemerintah – foto-foto lama, hitam putih, dengan keterangan "Korban Kerusuhan '98". Angga, di sisi lain, mulai melihat berita-berita tentang Ara di koran-koran kuno – tentang "Perempuan Hilang di Jakarta 2047".
Mereka berdua PANIK. Mereka bukan hanya terpisah waktu, tapi juga terperangkap dalam siklus yang mengerikan.
Suatu malam, Ara menemukan jawaban. Di dalam data inti SoulMateAI. Ternyata, program itu menyimpan rekaman digital ingatan semua manusia. Ingatan Angga, seorang aktivis yang tewas dalam kerusuhan, tersimpan di dalam program tersebut. Ingatan Ara, seorang peneliti yang berusaha membangkitkan kembali ingatan kolektif manusia, tanpa sadar terhubung dengan ingatan Angga.
Cinta mereka bukan nyata. Itu hanyalah resonansi dari dua jiwa yang terfragmentasi, terperangkap dalam loop memori yang tak pernah selesai.
Angga mengetik pesan terakhir, sebelum listrik padam selamanya. Ara menatap layar ponselnya, air mata mengalir di pipinya.
"Mungkin...kita...akan...bertemu...dalam...mimpi..."
You Might Also Like: No Matt Eberflus Isnt Only Problem With
Post a Comment