Cerita Seru: Kau Berkata Akan Menghapus Semua Dosa, Tapi Aku Yang Tak Ingin Ditebus

Kau Berkata Akan Menghapus Semua Dosa, Tapi Aku Yang Tak Ingin Ditebus

Embun pagi merayapi kelopak mawar merah di taman kediaman Lin. Wang Yifeng, dengan jubah sutra putihnya, tampak menyatu dengan kabut. Tatapannya kosong, menatap patung naga di tengah taman. Ia hidup dalam kebohongan, sebuah kepompong indah yang ia rajut sendiri bertahun-tahun lalu.

"Kakak Yifeng," suara lembut memecah sunyi. Lin Xiulan, adiknya, mendekat. Matanya menyimpan badai yang sebentar lagi akan meletus. Ia mencari kebenaran, meski kebenaran itu bagaikan pecahan kaca yang siap melukai.

Yifeng tersenyum tipis. "Xiulan, apa yang membawamu kemari sepagi ini?" Senyum itu, bagi Xiulan, adalah topeng. Topeng yang menutupi rahasia kelam yang telah merenggut masa depannya.

"Tentang malam itu…" Xiulan memulai, suaranya bergetar. "Malam ketika Ayah meninggal. Kau bilang kau berada di kediaman Paman Chen."

Yifeng terdiam. Angin berdesir melalui dedaunan bambu, menciptakan suara gemerisik yang anehnya menenangkan. "Itu benar, Xiulan. Aku bersumpah."

Xiulan tertawa hambar. "Kau bersumpah? Demi apa? Kebohongan yang kau hidupi?" Ia mengeluarkan sebuah gulungan surat dari balik jubahnya. "Surat ini… surat dari Paman Chen. Ia mengatakan kau tidak pernah mengunjungi kediamannya malam itu. Kau ada di tempat lain. Bersama Ayah."

Yifeng memejamkan mata. Kenyataan yang selama ini ia coba kubur kini bangkit, bagai hantu yang menuntut balas.

"Aku… aku melakukan kesalahan," lirihnya. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan dosa, namun bagi Xiulan, itu hanyalah penghinaan.

"Kesalahan? Kau menyebutnya kesalahan? Kau membunuh Ayah! Demi warisan, demi kekuasaan! Dan kau membiarkanku hidup dalam kebohongan selama ini!" Air mata mengalir di pipi Xiulan.

Yifeng membuka mata. "Aku ingin menebusnya, Xiulan. Aku akan melakukan apapun."

"Kau? Menebusnya? Terlambat. Kau sudah merenggut segalanya dariku. Kebahagiaanku. Kepercayaanku. Bahkan ingatan indah tentang Ayah." Xiulan mendekat, matanya menyala dengan amarah. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik jubahnya. Botol berisi racun sianida yang mematikan.

Yifeng menatapnya, tanpa rasa takut. "Aku tahu kau akan melakukan ini."

"Kau berkata akan menghapus semua dosa," bisik Xiulan, "tapi aku yang tak ingin ditebus. Aku akan menjadi hakimmu. Dan hukumanku… adalah kehidupan dalam penyesalan abadi."

Xiulan membuka botol itu dan menuangkannya ke dalam cangkir teh Yifeng yang masih mengepul. Ia menyodorkan cangkir itu.

Yifeng menerima cangkir itu, menatapnya sejenak, lalu meneguknya habis. Ia tersenyum. Senyum yang menyimpan perpisahan abadi. Ia tahu, kematian adalah hukuman yang terlalu ringan baginya. Yang benar-benar menghancurkannya adalah kenyataan bahwa ia telah kehilangan kepercayaan adiknya.

Yifeng jatuh berlutut, kesadarannya memudar. Xiulan menatapnya dengan tatapan dingin. Tidak ada ampun, tidak ada penyesalan. Hanya sebuah kehampaan yang menggema di dalam hatinya.

Sebelum pergi, Xiulan berbisik, "Selamat tinggal, Kakak. Dan kuharap… kau akan terus mengingatku."

Kemudian, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Yifeng di taman yang dipenuhi embun pagi, di antara mawar merah dan patung naga yang diam.

Di tangannya, tergenggam erat botol yang tadi ia tunjukkan pada kakaknya. Botol itu kosong. Hanya ada sedikit tetesan air di dalamnya. Racun itu… tidak pernah ada. Hukuman Yifeng adalah hidup dengan keyakinan bahwa ia akan mati. Hidup dengan beban rasa bersalah yang akan menghantuinya selamanya. Balas dendam yang tenang, namun menghancurkan.

Dan ketika Xiulan melangkah keluar dari gerbang kediaman Lin, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini benar-benar akhir, atau justru… awal yang baru?

You Might Also Like: 7 Fakta Tafsir Bertemu Belut Jangan

Post a Comment