Bikin Penasaran: Ia Menyebutku Di Doa, Tapi Sembari Mencium Orang Lain

Langit Jakarta, atau entah langit kota apa lagi ini, menolak mentah-mentah untuk berwarna. Abu-abu stagnan. Sama seperti chat dari Renjun yang hanya menampilkan tiga titik menyebalkan: "Sedang Mengetik...". Sudah tiga jam. Tiga jam, Renjun sedang mengetik apa? Deklarasi cinta sejati? Surat putus yang dikemas dalam metafora tentang senja yang memudar? Aku, Xiaohua, menghela napas. Udara digital terasa pengap.

Aku kenal Renjun dari aplikasi kencan ZamanNow. Profilnya: foto hitam putih sedang menatap hujan, bio singkat: "Mencari seseorang yang bisa membedakan Kangen Water dengan air keran." Romantis absurd. Aku langsung terpikat.

Tapi Renjun aneh. Sangat aneh.

Pertama, dia selalu salah menyebut tahun. "Ingatkah kamu, Xiaohua, saat kita bertemu di pesta dansa tahun 1927? Gaunmu indah sekali." 1927? Aku bahkan belum lahir, bodoh! Aku lahir di era TikTok, di mana filter lebih penting daripada moral.

Kedua, sinyalnya selalu hilang. Telepon berdering hanya jika ada badai matahari atau saat Merkurius sedang RETROGRADE. Renjun selalu menyalahkan "interferensi spektral dari dimensi lain." Aku pikir dia kebanyakan nonton film Marvel.

Suatu malam, Renjun menelepon, suaranya serak dan berat. "Xiaohua... aku... aku mohon maaf."

"Maaf untuk apa, Renjun? Maaf karena lupa anniversary kita yang... tidak pernah ada?"

"Aku... aku sedang mencium orang lain."

Dunia runtuh. Tentu saja. Kenapa juga aku berharap lebih? Cinta di era digital memang begini: virtual, tidak nyata, dan penuh kepalsuan.

"Siapa?" Aku bertanya, meskipun tahu jawabannya tidak akan memuaskan.

"Dia... dia menyebut namamu di doanya."

HAH?

Dan di situlah keanehan itu mencapai puncaknya.

Aku memutuskan untuk mencari Renjun. Menggunakan petunjuk-petunjuk absurd yang dia berikan: "Rumah di ujung gang berbatu yang menghadap ke arah matahari terbit, di mana kucing-kucing minum dari air hujan yang menetes dari atap." Kedengarannya seperti setting film indie low-budget.

Akhirnya aku menemukannya. Bukan Renjun yang kukenal dari ZamanNow. Tapi seorang kakek renta, duduk di kursi goyang, menatap foto seorang gadis cantik dengan gaun flapper.

"Siapa kamu?" Aku bertanya, suaraku bergetar.

Kakek itu tersenyum lembut. "Aku Renjun. Dulu. Atau mungkin... akan datang." Dia menunjuk foto itu. "Itu... Xiaohua. Dia meninggal karena influenza Spanyol, tahun 1918."

Aku terhuyung mundur. Jadi, semua ini...

"Dia selalu menyebutmu di doanya, setiap malam. Dia berharap ada seseorang, di masa depan, yang akan mencintainya seperti yang aku lakukan." Kakek Renjun terbatuk. "Dan aku... aku mencium wanita lain, karena aku tahu... dia tidak akan pernah kembali."

Rahasia ganjil itu terungkap. Cinta kami bukan cinta sejati. Hanya gema. Pantulan dari kerinduan yang tak pernah usai, melintasi waktu dan dimensi. Aku, Xiaohua dari era TikTok, hanyalah pengganti. Ilusi yang diciptakan oleh doa seorang gadis yang meninggal seabad lalu.

Kakek Renjun mengulurkan tangannya. "Dia... dia selalu mencintaimu, Xiaohua."

Sebelum aku bisa menjawab, lampu padam. Semuanya gelap. Dan yang tersisa hanyalah bisikan:

Jangan pernah lupakan melodi yang kita ciptakan, meskipun hanya terdengar di antara bintang-bintang...

You Might Also Like: Jualan Skincare Usaha Sampingan Online

Post a Comment