Kau Mencium Tangannya di Depan Semua Orang, Tapi Menciumku Dalam Pikiranmu
Hujan kota selalu terasa lebih dingin ketika dia tidak ada. Gemericiknya bukan lagi melodi syahdu, melainkan notifikasi pilu yang berdering di sudut hati. Aku membenci aroma kopi, aroma yang dulu selalu menemani obrolan larut malam kita, kini hanya menyisakan pahit di lidah.
Dulu, jemariku lincah menari di atas layar ponsel, menciptakan barisan kata yang dirangkai khusus untuknya. Sekarang, draft pesan tak terkirim menumpuk, menjadi monumen bagi segala hal yang tak terucap.
Kau mencium tangannya di depan semua orang. Cahaya lampu kristal memantul dari cincin yang melingkar di jarinya. Senyummu, ah, senyum itu. Dulu hanya untukku. Sekarang, kau bagikan dengan dunia.
Tapi aku tahu. Aku merasakan getaran itu. Tatapanmu – tatapan yang mencoba menyembunyikan badai di balik pupil yang tenang. Kau mencium tangannya, tapi menciumku dalam pikiranmu.
Kehilangan ini samar. Seperti kabut yang menyelimuti cakrawala, menghalangi pandangan, membuatku tersesat dalam labirin kenangan. Kenangan tentang sentuhanmu, bisikanmu, dan janji-janji yang kini hanyalah debu.
Misteri ini menyelimuti. Mengapa? Mengapa semua ini terjadi? Aku mencari jawaban dalam jejak digital yang kau tinggalkan. Dalam story Instagram-mu yang penuh kepalsuan, dalam lagu yang kau dengarkan, dalam setiap jejak yang kau tinggalkan – semuanya berteriak tentang sesuatu yang belum selesai.
Rahasia itu akhirnya terungkap. Aku menemukannya di arsip chat lama, di antara barisan emoji ciuman dan janji setia. Sebuah nama. Sebuah foto. Seseorang yang kau pikir lebih baik dari aku. Sebuah pengkhianatan yang tersembunyi di balik senyum manis.
Dan di sanalah, di tengah gemuruh hujan dan aroma kopi yang memualkan, aku menemukan kekuatanku.
Balas dendamku lembut. Tak perlu air mata, tak perlu teriakan. Hanya sebuah pesan.
"Selamat bahagia. Aku tahu kau akan mencariku."
Lalu, aku memblokir nomornya. Menghapus semua jejaknya dari hidupku. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirku. Sebuah senyum terakhir.
Keputusanku sudah bulat. Aku pergi. Meninggalkan kota ini, meninggalkan kenangan ini, meninggalkan dirinya.
Di bandara, aku menatap layar ponselku untuk terakhir kalinya. Notifikasi terakhir dari dia terabaikan. Aku membiarkannya berdering, membiarkannya menjadi bukti bisu bahwa aku telah menang.
Pesawat lepas landas. Aku memejamkan mata.
Dan kemudian, aku hanya merasa...
You Might Also Like: 39 Official Real Madrid Name Squad To
Post a Comment