Aku Mencintaimu Bahkan Ketika Tak Ada Lagi Yang Tersisa Untuk Kucintai
Lorong istana dingin. Sunyi mencengkeram, hanya sesekali terdengar gema langkah kaki yang ragu. Kabut tipis menyelinap dari taman belakang, memasuki celah-celah jendela, membawa aroma melati yang memabukkan dan aroma tanah basah yang menusuk tulang. Di ujung lorong, di balik tirai sutra berwarna giok, sosoknya berdiri.
Lima belas tahun. Lima belas tahun ia dianggap mati. Tenggelam di Danau Bulan Sabit.
Wajahnya sedikit berbeda, ada guratan halus di sudut mata yang dulu polos. Tapi mata itu...mata itu tetap sama. Mata yang dulu selalu memancarkan cinta untukku, sekarang memancarkan kebencian yang teramat dalam.
"Kau kembali, Li Wei," ucapku, suara serak tertahan. Kata-kata itu bagai pisau yang menyayat tenggorokan.
Li Wei, yang dulu adalah cinta dalam hidupku, kini hanyalah bayangan masa lalu yang menghantui.
"Kembali untuk apa?" jawabnya, suaranya seperti desiran angin di antara pepohonan bambu yang berkarat. "Apakah kau pikir aku merindukan tempat ini? Tempat di mana kau merenggut segalanya dariku?"
Aku mendekat, langkahku berat. Cahaya bulan yang menyelinap dari celah tirai menerangi wajahnya. Wajah yang dulu selalu kupuja.
"Aku tidak pernah menginginkan ini, Li Wei. Takdir yang kejam..."
"Takdir?" Ia tertawa sinis. Tawa itu lebih menyakitkan daripada tangisan. "Kau menyebutnya takdir? Aku menyebutnya pilihan. Pilihan yang kau buat untuk menyelamatkan tahtamu."
Tiba-tiba aku merasa dingin. Dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Kebenaran yang selama ini kupendam, kini mencuat ke permukaan seperti bangkai yang terendam lama.
"Semua ini...kau tahu?" bisikku, nyaris tak terdengar.
Li Wei tersenyum, senyum yang membuatku bergidik. "Tentu saja. Aku tahu sejak awal. Kau pikir aku mati? Aku hanya menghilang. Aku membiarkanmu merasa bersalah, membiarkanmu hidup dalam ketakutan."
Ia mendekat, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Matanya menatapku lekat-lekat, menusuk jiwaku.
"Aku mencintaimu, Kaisar. Bahkan ketika tak ada lagi yang tersisa untuk kucintai. Bahkan ketika kau menghancurkan hidupku. Tapi cintaku...berubah menjadi racun."
Aku mundur selangkah. Rasa sakit itu tak tertahankan. Rasa sakit karena kehilangan, rasa sakit karena penyesalan, dan rasa sakit karena pengkhianatan.
"Kau...kau yang merencanakan semua ini?"
Li Wei mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Sejak awal. Kau hanyalah bidak dalam permainanku. Sebuah pion yang kugerakkan untuk mencapai tujuan akhirku."
Pandanganku kabur. Dunia terasa berputar. Aku tidak percaya. Aku tidak mau percaya.
"Tapi...kenapa? Aku mencintaimu!"
Li Wei tertawa. Tawa yang menggema di lorong istana yang sunyi. Tawa yang akan menghantuiku selamanya.
"Cinta? Kau tidak tahu apa itu cinta. Cinta adalah kekuatan. Dan aku... selalu memegang kendali atas kekuatan itu."
Di balik bayangan, para pengawal istana muncul, wajah mereka tanpa ekspresi. Mata mereka menatapku dengan dingin. Mereka berlutut di hadapan Li Wei.
Dan di saat itulah, aku menyadari... korban yang sesungguhnya tidak pernah ada.
You Might Also Like: Absurd Tapi Seru Cinta Yang Mati Di
Post a Comment