FULL DRAMA! Air Mata Di Cawan Racun

Hujan kota Seoul mengguyur kaca apartemen. Nada dering notifikasi pesan berulang kali memecah keheningan, namun Aeri enggan meraih ponselnya. Layarnya hanya menampilkan nama Lee Junho, nama yang dulu membuatnya tersenyum, kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokannya. Aroma kopi yang menguar dari cangkirnya tak mampu menghangatkan hatinya yang membeku.

Dulu, cinta mereka tumbuh di antara notifikasi pesan tengah malam dan emoji hati yang konyol. Mereka bertemu di dunia maya, saling bertukar mimpi, dan merangkai masa depan yang terasa begitu nyata. Junho, dengan senyumnya yang menenangkan dan puisi-puisi pendek yang dikirimkannya setiap pagi, adalah pelabuhan Aeri. Sekarang, ia hanyalah sisa chat yang tak terkirim, jejak digital dari kebahagiaan yang telah hilang.

Kehilangan itu samar. Junho pergi tanpa penjelasan. Satu hari, ia ada; hari berikutnya, ia menghilang seperti kabut pagi. Aeri mencoba menghubunginya, tapi semua panggilannya tak terjawab, semua pesannya hanya ditelan sunyi. Teman-teman Junho pun hanya mengangkat bahu, seolah Junho tidak pernah ada dalam hidup mereka.

Misteri ini menggerogoti Aeri. Ia mencari petunjuk di setiap sudut kota, di setiap foto yang tersimpan di ponselnya. Ia menelusuri kembali jalan-jalan yang pernah mereka lalui bersama, berharap menemukan jejak Junho, atau setidaknya, alasan kenapa ia menghilang.

Suatu malam, saat Aeri tengah menggali file cloud mereka, ia menemukan sebuah folder tersembunyi. Di dalamnya, terdapat foto-foto Junho bersama seorang wanita, seorang wanita yang sangat mirip dengannya, namun jauh lebih muda, jauh lebih polos. Di bawah foto-foto itu, terdapat sebuah pesan: "Maafkan aku, Aeri. Ini adalah satu-satunya cara."

Aeri terhuyung. Dikhianati. Bukan hanya cinta, tapi seluruh realitas yang ia yakini selama ini runtuh di hadapannya. Air matanya jatuh membasahi foto-foto itu, air mata yang terasa seperti racun.

Namun, Aeri tidak hancur. Ia memilih untuk bangkit, untuk menulis ulang takdirnya sendiri. Ia menghapus semua foto Junho dari ponselnya, memblokir semua akunnya. Ia ingin melupakan Junho, tapi ia tahu, kenangan itu akan selalu ada, seperti bekas luka yang tak bisa dihapus.

Waktunya tiba. Setahun kemudian, Aeri berdiri di sebuah galeri seni. Lukisan-lukisannya dipajang di sana, lukisan yang menggambarkan perasaannya, lukisan yang lahir dari patah hati dan kebangkitan. Di antara para tamu, ia melihat seorang pria berdiri di pojok ruangan. Lee Junho.

Junho berjalan mendekat. "Aeri…"

Aeri tersenyum. Senyum yang dingin, senyum yang tidak mengandung kehangatan. "Junho-ssi. Saya senang Anda datang."

Junho mencoba meraih tangannya, tapi Aeri menghindar. Ia mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. "Ini undangan pernikahan saya. Saya harap Anda bisa hadir."

Amplop itu berisi undangan pernikahan Aeri dengan seorang pria lain, seorang pria yang mencintainya dengan tulus, seorang pria yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Junho menatap undangan itu dengan tatapan kosong. "Aeri… maafkan aku."

Aeri hanya tersenyum. Ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Junho yang terpaku di tempatnya. Balas dendamnya lembut, namun mematikan. Sebuah pesan terakhir tanpa kata, sebuah senyum terakhir tanpa maaf, sebuah keputusan yang menutup segalanya.

Aeri melangkah keluar dari galeri, membiarkan hujan kota menyentuh wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya. Ia telah memaafkan Junho, bukan untuk Junho, tapi untuk dirinya sendiri. Ia telah melepaskan beban masa lalu, dan siap untuk menatap masa depan.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya: Apakah ia benar-benar bisa melupakan Lee Junho? Apakah luka ini akan benar-benar sembuh?

Ia terus berjalan, menjauh dari masa lalu, menuju masa depan yang tak pasti. Tetapi, di kejauhan, ia masih bisa merasakan sisa-sisa rasa sakit… yang membuatnya tidak bisa benar-benar pergi.

You Might Also Like: 66 Kirkwood Skiing Snowboarding Resort

Post a Comment