Hujan Seoul malam itu membasahi jiwaku, sama seperti air mata yang membasahi pipimu. Di balik jendela kafe yang berembun, aku melihat siluetmu bersandar di bahunya. Bahu yang seharusnya menjadi sandaranku. Bahu yang KAU pilih, bukan aku.
Kau tertawa. Tawa yang dipaksakan. Aku mengenalmu terlalu lama, Lin Mei. Aku tahu betul tawa itu hanyalah topeng. Aku tahu di balik riasan tebal dan senyum palsu itu, hatimu remuk.
Malam itu, aku mendengar suara patahmu. Bukan dari bibirmu yang terkatup rapat, melainkan dari tatapan matamu yang kosong. Tatapan yang dulu hanya untukku. Tatapan yang dipenuhi janji-janji bisu, yang kini tergeletak mati di dasar hatiku.
Dulu, di bawah pohon sakura yang mekar sempurna, kau berjanji. Janji yang kuukir dalam hati, janji yang menjadi pegangan di setiap langkahku. "Aku akan selalu bersamamu, Xiao Chen. Selamanya."
Kata-kata itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menusuk jantungku. Selamanya? Kau memilih bersamanya. Kau memilih kenyamanan, stabilitas, dan harta yang tak pernah bisa kuberikan.
Aku hanya seorang seniman miskin dengan impian setinggi langit. Aku hanya bisa menawarkanmu cinta yang tulus, cinta yang membara, cinta yang... ternyata, tidak cukup.
Aku melihat kau berpegangan erat pada lengannya, seolah takut terjatuh ke dalam jurang penyesalan yang kau gali sendiri. Aku melihat ia tersenyum, seolah ia telah menaklukkan gunung tertinggi. Ia tidak tahu, Lin Mei, bahwa ia hanya memeluk hantu. Hantu dari cinta yang pernah kau bagi denganku.
Bertahun-tahun berlalu. Aku meraih impianku. Lukisanku dipajang di galeri-galeri ternama. Namaku dikenal di seluruh penjuru negeri. Aku memiliki segalanya. Kecuali...dirimu.
Aku mendengar kabarmu. Pernikahanmu tak sebahagia yang kau kira. Bisnisnya bangkrut. Kalian terjerat hutang. Ironis, bukan? Kenyamanan, stabilitas, dan harta yang kau pilih, kini menghantuimu.
Suatu malam, aku menerima undangan makan malam amal dari yayasan milik suamimu. Aku tahu itu jebakan. Ia ingin meminjam uang dariku, menggunakan masa laluku denganmu sebagai jembatan.
Aku datang. Aku tersenyum. Aku memberinya apa yang ia inginkan. Tapi dengan satu syarat. Aku akan membeli seluruh saham perusahaan yang hampir bangkrut itu. Dan aku akan menjadikannya milikku.
Di saat ia menandatangani perjanjian itu, aku melihatmu. Di matamu, aku melihat penyesalan. Penyesalan yang terlambat.
Aku tidak mengatakan apa pun. Aku hanya tersenyum tipis. Takdir, terkadang, bekerja dengan cara yang misterius. Ia mengambil, ia memberi. Ia menghancurkan, ia membangun. Kini, giliranku untuk membangun. Membangun kerajaan dari reruntuhan hatimu.
Kau memilih berlari ke pelukannya untuk mencari perlindungan, tapi aku yang akan memiliki kendali atas langit yang menaungimu.
You Might Also Like: 186 Rahasia Skincare Lokal Dengan Bahan
Post a Comment