Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-Katanya Tak Mau Mati
Malam menggantung bagai tirai beludru hitam, tak satu pun bintang berani menampakkan diri. Salju turun tanpa ampun, mewarnai halaman istana dengan putih pucat yang mengkhianati darah yang segera menodainya. Aroma dupa cendana, seharusnya menenangkan, kini terasa mencekik, bercampur dengan bau anyir yang membuat perut mual.
Di tengah aula megah, di atas permadani sutra yang pernah menjadi saksi bisu tawa bahagia, berdiri Lian, sang Putri Mahkota. Gaun merah menyalanya berkontras mengerikan dengan hamparan salju yang menyusup masuk melalui jendela yang pecah. Di tangannya, ia menggenggam obor, nyalanya menari liar, mencerminkan badai dalam hatinya.
Di hadapannya, terikat di kursi kayu ek yang berukir naga, duduk Kaisar Xuan. Wajahnya, yang dulu gagah dan penuh wibawa, kini dipenuhi luka dan memar. Matanya, menatap Lian dengan campuran ketakutan dan penyesalan.
"Ayah..." suara Lian bergetar, namun di baliknya tersimpan baja yang tak bisa ditembus. "Atau haruskah aku memanggilmu dengan sebutan yang lebih tepat... Pembunuh?"
Keheningan runtuh bagai istana pasir diterjang ombak.
Lian mengangkat obor tinggi-tinggi. Di bawahnya, terbakar habis, terletak sisa-sisa perkamen usang. Perjanjian. Perjanjian yang mengikat keluarganya dengan klan Xuan selama ratusan tahun. Perjanjian yang didasari kebohongan dan pengkhianatan.
"Aku membakar perjanjian ini," desis Lian, suaranya serak. "Tapi kata-katanya... kata-kata yang kau ucapkan saat membunuh ibuku... kata-kata itu tak mau mati. Mereka menghantuiku dalam setiap mimpi, dalam setiap langkah."
FLASHBACK memenuhi benaknya. Salju yang sama. Malam yang sama. Tapi saat itu, ia hanyalah seorang gadis kecil yang bersembunyi di balik tirai, menyaksikan Kaisar Xuan menikam ibunya dengan belati bersepuh emas. Alasannya? Kekuatan magis yang dimiliki sang Ratu, kekuatan yang dianggap ancaman bagi kekuasaan Kaisar.
DARAH menetes di salju, bagai mawar merah yang mekar di atas kain kafan.
Lian tersentak kembali ke kenyataan. Air mata menetes di antara kepulan asap dupa, membasahi pipinya yang dingin. Ia mengingat sumpah yang diucapkannya di makam ibunya, sumpah yang telah membimbingnya selama bertahun-tahun.
"Kau mengambil ibuku, merenggut masa kecilku, mencuri kebahagiaanku," bisik Lian, suaranya nyaris tak terdengar. "Kau pikir aku akan memaafkanmu? Kau salah. Kebencianku lebih besar dari gunung, lebih dalam dari lautan!"
Ia mendekatkan obor ke wajah Kaisar Xuan. Pria itu memejamkan mata, pasrah pada takdir yang telah lama dihindarinya.
"Kau akan mati," kata Lian, tenang namun mematikan. "Bukan dengan pedang atau racun. Kau akan mati dengan mengetahui bahwa seluruh klan Xuan akan runtuh bersamamu. Semua yang kau bangun, semua yang kau banggakan... akan menjadi debu."
Lian memerintahkan para pengawalnya untuk membawa Kaisar Xuan ke penjara bawah tanah. Bukan untuk diadili. Bukan untuk dieksekusi. Tapi untuk menyaksikan, hari demi hari, kerajaannya hancur di depan matanya.
Balas dendam yang sesungguhnya bukanlah membunuh, tapi membuat musuhmu menyesali kelahirannya.
Lian berbalik, meninggalkan aula yang dipenuhi bau kematian dan penyesalan. Ia berjalan menuju balkon, menatap salju yang masih turun tanpa henti. Ia telah membakar perjanjian, tapi ia tahu, kutukan yang terukir di dalam hatinya akan terus membara, bahkan setelah abu abadinya bertebaran di angin.
Dan ketika matahari akhirnya terbit, menyinari istana yang berlumuran dosa, Lian tahu, perang yang sebenarnya... baru saja dimulai.
You Might Also Like: 0895403292432 Cari Skincare Aman Ini
Post a Comment