Kau Pergi Bersama Badai, Tapi Suaramu Masih Berputar di Kepalaku
Aula Emas Istana Naga berkilauan di bawah cahaya ribuan lilin. Aroma dupa cendana dan ambisi menguar di udara, bercampur menjadi parfum kekuasaan yang memabukkan. Kaisar Li Wei duduk di singgasananya, ekspresinya sedingin batu giok. Di sekelilingnya, para pejabat istana berdiri tegak, mata mereka awas mengamati setiap gerak-geriknya. Di balik tirai sutra merah menyala, bisikan pengkhianatan berdengung seperti lebah yang marah.
Di tengah kerumunan, berdiri seorang wanita anggun. Selir Mei Lan, kecantikannya memabukkan, bagaikan bunga teratai yang mekar di tengah malam. Matanya, sekelam obsidian, menyimpan rahasia yang lebih dalam dari sumur tanpa dasar.
Li Wei dan Mei Lan. Kaisar dan selirnya. Cinta mereka terjalin dengan intrik istana, dengan janji-janji yang diucapkan di bawah rembulan, dan sumpah setia yang terasa seperti belati yang tersembunyi di balik senyuman.
"Mei Lan," panggil Li Wei, suaranya berat dan menggema di aula. "Kau tahu hatiku."
Mei Lan menundukkan kepalanya, menyembunyikan gejolak emosi yang bergolak di dadanya. "Hamba tahu, Yang Mulia."
Namun, kebenarannya jauh lebih rumit. Cinta Li Wei adalah permainan takhta. Setiap pujian adalah jebakan, setiap hadiah adalah beban. Ia membutuhkan Mei Lan. Bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena pengaruh keluarganya yang kaya dan setia.
Mei Lan, di sisi lain, mencintai Li Wei dengan segenap jiwa. Ia dibutakan oleh pesona dan janjinya. Ia percaya pada mimpi yang mereka bangun bersama, tentang istana yang damai dan pemerintahan yang adil.
Namun, badai menerjang.
Seorang jenderal pengkhianat menghasut pemberontakan. Istana dilanda kekacauan. Li Wei, yang panik dan curiga, menuduh Mei Lan bersekongkol dengan musuh. Tanpa pembuktian, tanpa ampun, ia menjatuhkan hukuman mati.
"Pengkhianat!" teriak Li Wei, matanya membara. "Kau telah mengkhianati kepercayaanku!"
Mei Lan diturunkan dari singgasananya, dipermalukan di depan seluruh istana. Ia diseret keluar, menuju gerbang kematian. Saat ia melewati aula yang dulu dipenuhi dengan pujian dan sanjungan, ia hanya bisa merasakan sakit hati yang mendalam.
Kau pergi bersama badai, Li Wei, pikirnya, air mata mengalir di pipinya. Tapi suaramu akan selalu berputar di kepalaku.
Namun, di balik kesedihannya, bara api KEBENCIAN mulai menyala.
Beberapa tahun kemudian, sebuah kudeta berdarah terjadi. Li Wei digulingkan dari takhtanya, bukan oleh jenderal pengkhianat, tetapi oleh seorang wanita dengan senyum dingin dan mata obsidian yang familiar.
Mei Lan, yang telah kembali dengan nama baru dan kekuatan yang tak terbayangkan, berdiri di hadapan Li Wei yang terikat dan lemah.
"Apakah kau ingat aku, Kaisar?" bisiknya, suaranya menusuk seperti es. "Kau mengambil segalanya dariku. Sekarang, giliranku."
Li Wei menatapnya dengan ngeri. Ia melihat bayangan kematian di mata wanita yang dulu dicintainya.
"Aku... aku..."
Mei Lan tersenyum, senyuman yang tidak mengandung kehangatan sama sekali. "Tidak perlu berkata apa-apa. Balas dendam adalah hidangan yang terbaik disajikan dingin."
Dan dengan satu perintah, Li Wei dibawa pergi, menuju akhir yang mengerikan. Mei Lan menyaksikan kepergiannya, tatapannya kosong dan dingin.
Ia telah merebut kembali takhtanya. Ia telah membalas dendamnya. Tapi... apa yang akan dilakukannya selanjutnya?
You Might Also Like: Dracin Seru Aku Mencintaimu Dengan
Post a Comment