Cerpen Seru: Langit Yang Tak Lagi Mengenal Dewa

Langit yang Tak Lagi Mengenal Dewa

Malam merangkak lambat di atas puncak Gunung Liang, serupa naga hitam yang melilit. Salju turun tanpa henti, menutupi jejak pertumpahan darah yang baru saja terjadi. Di tengah hamparan putih yang ternoda merah, berdirilah Lin Mei. Gaun merahnya yang compang-camping menari-nari tertiup angin, wajahnya pucat pasi namun matanya membara dengan amarah.

Di hadapannya, tergeletak Li Wei, pria yang dulu dicintainya, pria yang juga menghancurkan hidupnya.

"Dulu, aku memanggilmu 'Awan'," bisik Lin Mei, suaranya serak ditelan angin. "Awan yang menjanjikan teduh, namun hanya membawa badai."

Dupa terbakar di altar batu di dekat mereka, asapnya mengepul membentuk pusaran yang menyesakkan. Aroma pahitnya bercampur dengan bau amis darah, menciptakan perpaduan yang memuakkan. Di altar itulah, sepuluh tahun lalu, mereka mengikrarkan janji suci di bawah tatapan sang dewa. Janji yang kini hanyalah abu.

Li Wei terbatuk, darah segar menyembur dari mulutnya. "Mei... aku..."

Lin Mei berjongkok, mencengkeram dagu Li Wei dengan kasar. Air matanya membeku di pipi. "Jangan menyebut namaku. Nama itu haram terucap dari bibirmu."

Kisah mereka adalah kisah cinta terlarang, kisah pengkhianatan, dan kisah dendam yang membara. Lin Mei adalah putri seorang jenderal yang dibantai karena difitnah berkhianat pada kerajaan. Li Wei, saat itu seorang perwira muda yang ambisius, menjanjikan perlindungan dan cinta padanya. Namun, ia juga yang mengkhianatinya, yang memberikan kesaksian palsu demi menaiki tangga kekuasaan.

"Kau merebut segalanya dariku," desis Lin Mei, suaranya bergetar. "Nama baik keluargaku, kepercayaanku, dan hatiku. Kau berjanji di atas abu orang tuaku, lalu mengkhianati janji itu sendiri."

Rahasia lama akhirnya terbongkar. Surat-surat rahasia yang membuktikan pengkhianatan Li Wei tersebar di seluruh istana. Kedudukannya runtuh seketika. Kekuasaan yang diraihnya dengan darah dan air mata, hilang dalam sekejap.

"Aku... aku melakukannya demi kerajaan," rintih Li Wei.

Lin Mei tertawa hambar. "Demi kerajaan? Atau demi dirimu sendiri?" Ia mengeluarkan belati perak dari balik gaunnya. Cahaya bulan memantul tajam di bilahnya. "Aku tidak akan membunuhmu dengan mudah. Aku akan membuatmu merasakan sakit yang kurasakan selama sepuluh tahun ini. Setiap malam tanpa tidur, setiap air mata yang jatuh, setiap harapan yang pupus..."

Dengan gerakan yang tenang namun mematikan, Lin Mei mulai menyayat tubuh Li Wei. Bukan untuk membunuhnya dengan cepat, melainkan untuk menyiksanya perlahan. Setiap sayatan adalah pengingat akan pengkhianatannya. Setiap erangan kesakitan adalah balasan dari hati yang terlalu lama menunggu. Salju di sekeliling mereka semakin memerah.

Setelah berjam-jam lamanya, Li Wei tergeletak tak berdaya, nyaris tak bernyawa. Lin Mei berdiri di atasnya, wajahnya tanpa ekspresi. Ia menatap langit yang kelabu, seolah mencari jawaban dari dewa yang tak pernah menjawab doanya.

"Ini bukan akhir," bisiknya. "Ini baru permulaan."

Ia berbalik, meninggalkan tubuh Li Wei yang membeku di tengah salju. Dendamnya telah terbalaskan, namun hatinya tetap kosong. Ia melangkah pergi, menuju masa depan yang tak pasti, membawa serta bayangan masa lalu yang akan terus menghantuinya.

Di langit yang tak lagi mengenal dewa, hanya ada gema bisikan dingin: Darah akan memanggil darah.

You Might Also Like: Ini Baru Cerita Air Mata Yang Menemani

Post a Comment