Layar ponselku berkedip, memuntahkan notifikasi usang. Pukul 03.00, lagi. Jam yang sama setiap malam, menampilkan pesan darimu: "Sedang mengetik…" yang tak pernah terkirim. Di duniaku, tahun 2347, sinyal adalah hantu, dan cinta adalah arkeologi digital. Aku menggali sisa-sisa peradaban di antara server rusak, mencari jejakmu.
Namamu Lin, ku temukan dalam rekaman suara yang berdebu. Suaramu bagai melodi melankolis di tengah bisingnya kota hologram. Kau hidup di era 2023, era sebelum retakan dimensi membelah waktu, era di mana matahari masih bangun tepat waktu. Kau terdengar bahagia, Lin. Terlalu bahagia untuk dunia yang sudah lama lenyap.
Aku, Ren, hidup di antara reruntuhan impian digital. Langit di sini berwarna karat, dipenuhi drone pengintai yang mengawasi sisa-sisa kemanusiaan. Aku mencarimu di antara glitch dan pixel, berharap bisa menjangkau masa lalumu, memberitahumu tentang malapetaka yang akan datang.
Kita terhubung melalui anomali temporal, sebuah celah kecil di antara dua kenyataan yang hancur. Aku bisa merasakan kehadiranmu, seperti sentuhan dingin di tengkukku saat badai elektromagnetik melanda. Aku membaca puisimu yang kau unggah di forum digital, puisi tentang cinta dan harapan, tentang mentari pagi dan janji abadi. Itu membuat hatiku berdenyut, anehnya hidup, di tengah mati surinya dunia.
Kau menulis: "Aku mencintai senyummu, Ren. Senyum yang belum kutemukan, tapi kurasakan ada di suatu tempat, di antara bintang-bintang." Bagaimana bisa kau tahu? Bagaimana bisa kau merasakan kehadiranku, sebelum aku bahkan lahir di abad ini?
Aku mengirim pesan balasan, dengan harapan gila. Pesan yang tahu akan tersesat dalam void: "Lin, dunia kita akan hancur. Jauhi kota itu. Jangan percaya pada mereka."
Lalu, aku menemukan buku harian digitalmu. Di sana, kau menulis tentang mimpi aneh, mimpi tentang pria bernama Ren, yang hidup di masa depan yang mengerikan. Kau menggambarkanku dengan tepat, lengkap dengan bekas luka bakar di lengan kiriku, luka yang kudapat saat menyelamatkan seorang anak dari kebakaran drone.
Di halaman terakhir, tertulis: "Aku tahu. Aku tahu kita tidak seharusnya bertemu. Kita terikat oleh sesuatu yang lebih kuat dari waktu. Sesuatu yang lebih kuat dari hidup dan mati."
Saat itulah aku mengerti.
Cinta kita bukan hanya kebetulan. Cinta kita adalah ECHO. Gema dari kehidupan yang tak pernah benar-benar selesai, terulang terus menerus di antara dimensi yang retak. Kita ditakdirkan untuk saling mencari, saling merindukan, saling melindungi… meskipun kita tak pernah bisa bersama. Kita terjebak dalam lingkaran waktu, sebuah tragedi romantis yang diprogram oleh alam semesta itu sendiri.
Layar ponselku berkedip sekali lagi. Kali ini, pesannya berubah. Bukan lagi "Sedang mengetik…". Kali ini, pesannya berbunyi:
"Ren...aku_"
You Might Also Like: Reseller Kosmetik Modal Kecil Untung
Post a Comment